Site icon thebatterysdown

Neuropolitika dan Kapitalisme Emosional dalam Pilihan Politik

[original_title]

Thebatterysdown.com – Tifauzia Tyassuma, seorang dokter dan epidemiolog perilaku, membahas pentingnya pemahaman tentang kapitalisme emosional dalam konteks politik modern. Dalam karyanya, Tifauzia merujuk pada gagasan Byung-Chul Han, filsuf asal Korea Selatan-Jerman, yang menyoroti bagaimana emosi kini menjadi komoditas dan alat kekuasaan dalam era neoliberal. Menurut Han, kekuasaan tidak lagi dibangun melalui pengekangan fisik, tetapi melalui pengelolaan emosi masyarakat.

Fenomena ini menciptakan apa yang disebut Han sebagai “kapitalisme emosional”, di mana suara-noise dari emosi menggantikan argumen rasional dalam diskursus politik. Ide ini pertama kali diusung oleh sosiolog Eva Illouz, yang menjelaskan bagaimana elemen psikologi dan terapi merembes ke dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pekerjaan dan hubungan personal.

Konteks ini semakin relevan dalam berbagai peristiwa politik, termasuk pemilu, di mana pengaruh emosi, seperti rasa takut atau nostalgia, lebih mendominasi daripada penilaian terhadap kebijakan. Dalam pandangan Tifauzia, pergeseran ini menjadikan ruang politik tidak lagi sebagai arena deliberasi, tetapi lebih menjadi panggung untuk mengekspresikan afeksi.

Penelitian dalam bidang neurosains perilaku juga menegaskan hal ini. Daniel Kahneman, dalam bukunya “Thinking, Fast and Slow”, menunjukkan bahwa keputusan sering dipicu oleh sistem saraf emosional yang lebih cepat daripada pemikiran reflektif. Dengan demikian, kapitalisme emosional menjadi fenomena sentral yang harus dipahami untuk menangkap dinamika politik dan sosial saat ini.

Exit mobile version